Lupa itu memang menjengkelkan. Sudah hampir ingat pada
sesuatu yang ingin dikatakan, tetapi otak tetap diblok, tidak ingat lagi. Kalau
ini terjadi hanya kadang-kadang saja, orang masih belum panik. Tetapi kalau itu
terjadi berkali-kali dalam waktu singkat, orang mulai prihatin.
Di Jerman, “penyakit lupa” dicegah dengan ekstrak daun Ginkgo
Biloba yang khasiatnya sudah diteliti sejak tahun 1960. Ditemukan bahwa ekstrak
daun Ginkgo Biloba membantu kelancaran peredaran darah perifer di daerah akral
(anggota badan) yang jauh dari jantung, seperti ujung jari, ujung kaki, daun
telinga. Kelancaran ini membuat orang segar kembali dan tidak lekas capek.
Apakah dengan itu “penyakit” sering lupa juga bisa disembuhkan?
Beberapa peneliti obat di Jerman menyimpulkan, “Ya.”
Tetapi rekan-rekannya di Amerika Serikat, “Tidak.” Walaupun begitu, para penganut
di kubu Jerman yakin bahwa daerah otak juga terkena imbasnya, melihat kebugaran
jasmani yang diperoleh membuat orang yang bersangkutan juga berpikiran jernih.
Ingatan dan konsentrasi berpikir yang tadinya amburadul niscaya juga
diperbaiki.
Ekstrak itu kemudian diakui oleh pemerintah Jerman
sebagai obat pikun, dan disetujui untuk “dilempar” ke tengah masyarakat.
Dicetak sebagai tablet dan dragee, ekstrak yang sudah dikeringkan itu
dipasarkan dengan berbagai merek di pasar swalayan. Jutaan butir ditelan setiap
hari oleh para manula Jerman yang dalam usia senjanya masih ingin tetap bugar
dan tidak ingin sebentar-sebentar lupa, sebentar-sebentar lupa.
Uji coba yang sudah dilakukan di New York Institute for
Medical Research menunjukkan, ekstrak Ginkgo Biloba murni dengan nomor
pendaftaran obat EGb 761 buatan Jerman, memang benar berkhasiat terhadap pasien
penyakit Alzheimer, tetapi kerjanya lamban sekali. Enam bulan sampai satu tahun
baru tampak ada efeknya. Khasiatnya hanya tampak pada orang-orang tertentu.
Penelitian itu menimbulkan kontroversi. Mengapa meneliti obat pikun saja kok
sampai meneliti khasiatnya terhadap penyakit Alzheimer? Penyakit ini lebih
parah daripada penyakit cuma sering lupa.
Ternyata, alasannya karena penyakit Alzheimer sudah ada
uji standarnya yang bisa dipakai untuk mengukur kesembuhan. Sedangkan
“penyakit” sering lupa tidak ada. Pasien percobaan yang sudah diberi ekstrak
Ginkgo Biloba selama 52 minggu, ternyata hanya 27% yang memperoleh kesembuhan
sebanyak 4 point dalam skala pengukur penyakit Alzheimer. Yang diukur ialah
memori, penalaran, dan tingkah laku menjaga diri. Padahal daun Ginkgo Biloba
itu di Jerman tidak dimaksudkan untuk menyembuhkan penyakit Alzheimer,
melainkan mengembalikan kebugaran tubuh saja, termasuk otak, sehingga mencegah
penurunan daya ingat.
Sementara penelitian masih dilanjutkan di Amerika,
ekstrak Ginkgo Biloba dalam berbagai kepekatan, kemurnian (dicampur dengan
tanaman lain, bahkan ada yang diberi protein, vitamin, dan mineral) sudah
beredar luas di Eropa dan Amerika.
Hanya kekurangan oksigen
Hasil uji coba terhadap penyakit itu didiskusikan di
kalangan American Medical Association, pada 21 Oktober 1997 yang lalu. Ketua
tim peneliti, Pierre Le Bars, memberi penjelasan bahwa uji coba itu lebih
banyak menimbulkan teka-teki daripada memberi penjelasan bagaimana duduknya
perkara kok sampai daun itu bisa menghambat penurunan daya ingat pada pasien
penyakit Alzheimer.
Penyakit ini sejenis dementia (gangguan kronis dalam
proses mental) karena otak sedang sakit organis, seperti rusak dipondoki
parasit misalnya, atau terganggu oleh tumor. Gejalanya selain sering lupa, juga
disorientasi (tak tahu lagi di mana sedang berada, sehingga tak mampu menemukan
jalan kembali), tak mampu bernalar, dan tak mampu menjaga (mengendalikan) diri.
Mekanisme kerja daun Ginkgo Biloba terhadap otak
penderita Alzheimer belum jelas, walaupun sudah berhasil menghambat laju
penyakit itu. Ada suatu zat yang niscaya berperan dalam hal ini, yang untuk
sementara waktu diberi nama ginkgolid dan bilobalid (sejenis flavon glikosida).
Tetapi apalah arti sebuah nama! Dua buah, malahan! Dalam uji coba di Jerman
sebelumnya, yang dilakukan terhadap orang-orang yang sering lupa, diasumsikan
bahwa penyebab gangguan itu bukan otak yang sedang rusak seperti pada penderita
penyakit Alzheimer, tetapi cuma kekurangan oksigen. Otaknya tidak apa-apa.
Kekurangan ini gara-gara pembuluh darah ke otak sudah
banyak yang menyempit karena dinding bagian dalamnya ditempeli endapan kapur
dan kolesterol jahat. Kejadian ini terdapat pada orang-orang yang sudah lanjut
usia, 60 tahun ke atas. Kekurangan oksigen di daerah otak karena peredaran
darah agak terganggu ini menimbulkan kemunduran daya pikir, malas berpikir,
atau telmi (telat mikir). Daya konsentrasi pikiran juga berkurang, dan akhirnya
daya mengingat-ingat nama, istilah, tanggal, dan lainnya juga amburadul.
Memang kekurangan itu belum sampai menimbulkan rasa
muter-muter, pingsan, atau stroke. Sebab, darah masih beredar memasok oksigen
ke dalam otak, tetapi pasokannya yang kurang. Kalau dibiarkan berlarut-larut
tanpa usaha menormalkan kembali pasokan oksigen seperti semula (misalnya dengan
olahraga pernapasan secara teratur, jalan kaki pagi teratur juga, berenang
ringan seminggu sekali, dan pantang merokok sama sekali), sering lupa itu makin
parah. Seorang profesor yang menunjukkan gejala sering lupa dikatakan pikun.
Bukan karena pandainya, tetapi karena tuanya. Keadaan ini berhasil dihambat
dengan ekstrak Ginkgo Biloba.
Diduga, sari daun itu mampu mengencerkan darah, sehingga
aliran yang semula lamban di daerah otak menjadi lancar. Istilah “mengencerkan
darah” memang gambaran yang terlalu disederhanakan. Penjelasan yang lebih
ilmiah ialah, sari daun itu menghambat pembentukan PAF (platelet activating
factor). PAF sengaja dibentuk secara imunologis oleh sejumlah platelet (butir
darah merah), agar darah lebih kental, untuk menghambat pendarahan pada dinding
pembuluh darah yang luka, misalnya. Kekentalan ini menghambat peredaran.
Apalagi kalau pembuluh darahnya sudah banyak yang menyempit karena “pengapuran”.
Kalau pembentukan PAF dihambat oleh sari daun Ginkgo Biloba, darah tidak jadi
mengental. Alirannya ke otak lancar kembali, dan otak tidak kekurangan oksigen
lagi.
Seperti apa pohon antipikun itu? Pohon Ginkgo Biloba
batangnya bisa sampai ketinggian 24 m, dengan cabang yang sama kakunya dengan
batang. Pucuk batangnya meruncing seperti lembing, dan semuanya ditutup oleh
daun kecil-kecil yang melembutkan sosok pohon itu, tanpa menyembunyikan bentuk
dasarnya. Daunnya seperti suplir postar, sampai orang Inggris menyebutnya
Maidenhair tree.
Warnanya hijau kekuning-kuningan, dan bentuknya seperti
kipas terbelah, dengan urat daun yang menyebar secara radial. Menurut versi
orang Cina, bentuk daun itu seperti kaki bebek, sampai para penulis mereka abad
XVI menyebutnya pohon kaki bebek.
Nama gin go diciptakan oleh orang Jepang sebagai versi
mereka dari nama Cina yin kuo (buah perak). Buahnya memang putih mengkilat
seperti perak. Gara-gara buah inilah pohon itu diperkebunkan orang untuk
dipanen bijinya. Biji yang sudah dibakar amat populer di Tiongkok kuno sebagai
pengiring minum bir kalau orang mau kongkow-kongkow. Peranannya seperti kacang
bawang dan biji mete zaman sekarang.
Dunia Barat baru mendengar tentang pohon itu ketika
Engelbert Kaempfer menulisnya dalam laporan misi diplomatiknya ke Tokyo tahun
1690. Dokter perusahaan dagang Belanda yang ditempatkan di Jepang ini diakui
sebagai penemu Ginkgo Biloba. Ia pula yang membawa tanaman itu untuk pertama
kalinya ke Utrecht, Belanda, pada 1730, bersama bibit pohon magnolia dan ceri
Jepang. Kew Gardens di Inggris membeli bibit Ginkgo Biloba pada 1754 dari
seorang penangkar bibit di London. Di Kebun Raya Kew Gardens inilah, ia
dibaptis sebagai adiantifolia (berdaun suplir Adiantum). Memang ia satu-satunya
pohon di dunia yang daunnya seperti paku.
Gara-gara pohon itu, para taksonomis tumbuh-tumbuhan
sepakat untuk menciptakan nama familias Ginkgoaceae. Satu-satunya familias di
dunia yang anggotanya cuma satu, Ginkgo Biloba.
Pohon itu juga “sakti”. Jenis-jenis lain yang hidup
sezaman dengan dia sudah punah pada akhir zaman Trias, era Mesozoicum (190 juta
tahun yang lalu), tetapi ia tetap bertahan, hidup terus sampai zaman modern
sekarang ini, sebagai semacam fosil hidup. Tidak jelas dalam sejarah, mengapa
ia bisa bertahan begitu lama dari zaman ke zaman. Tetapi para ilmuwan tidak
pernah kehabisan teori.
Diduga, bertahannya karena yang tumbuh di pegunungan
tinggi jarang terserang hama (termasuk manusia) dan polusi udara. Merekalah
yang kemudian menurunkan Ginkgo generasi muda pada zaman-zaman kemudian yang
mampu menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Di antara generasi baru
ini malah ada yang tenang-tenang saja disiksa dalam pot pinggir jalan dalam
kota yang tercemar berat oleh udara knalpot kendaraan macet (di Fifth Avenue,
New York).
Sebelum jenis-jenis pohon runjung Conifera berkembang,
pohon berdaun suplir sudah menguasai daratan Amerika, Asia, dan Australia.
Ketika umat manusia muncul di pentas dunia, pohon itu “mengungsi” ke
hutan-hutan Pegunungan Chekiang di sebelah timur, dan Sechuan di wilayah barat
Cina. “Mengungsi” dalam hal ini ialah bertahan di daerah “pengungsian”,
sedangkan rekan-rekannya di daerah lain sudah punah oleh berbagai sebab.
Untung ada pencinta lingkungan dan pelestari sumber daya
alam yang menanamnya di taman-taman kuil di Cina, dan kemudian di Jepang. Ini
menurut penuturan beberapa penulis Cina abad VIII. Tanpa mereka, mungkin kita
tidak akan mewarisi jenis pohon ini di dataran rendah tempat pemukiman orang.
Selain sebagai tanaman obat, pohon antipikun ini juga
ditanam sebagai penghias taman. Di daerah beriklim empat, saat yang paling
cantik dari penampilan pohon itu ialah akhir musim gugur, ketika daunnya yang
hijau berubah kuning mentega yang cemerlang. Keindahannya memang sebentar,
karena daun itu segera gugur. Tetapi pertumbuhannya yang penuh, dan lebih
leluasa bergoyang-goyang itu benar-benar mengesankan.
Di Amerika dikembangkan varietas yang tumbuh tegak, untuk
ditanam sebagai penghias tepi jalan. Tetapi yang lebih indah sebenarnya
varietas yang tumbuh melebar, atau yang daunnya menggelantung lebih luwes.
Pohon ini berumah dua. Bunga jantannya tinggal di rumah
(pohon) lain, tidak serumah dengan bunga betina. Sayang, pohon betina ini
berbau busuk, kalau buahnya sudah masak. Orang lebih suka menanam pohon jantan
di halaman rumah, daripada memelihara pohon betina
Sumber : tipspetani.blogspot.com
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar